Belajar Tentang Keunikan Bahasa Madura

2/23/2021 Add Comment

Postingan sebelumnya membahas masalah Belajar Tentang Bahasa Tingkat Bahasa Madura (Speech Levels) yang terbagi menjadi 3 bagian, nah pada postingan kali ini kita akan mengulas tentang Keunikan Bahasa Madura yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya di indonesia atau bahkan dunia karena memang sudah menjadi ciri khas dari Bahasa Madura secara turun temurun.

Bahasa Madura memiliki beberapa ciri atau keunikan tertentu yang tidak ada pada bahasa-bahasa daerah lainnya termasuk bahasa Indonesia sendiri, sebenarnya di dalam bahasa Madura terdapat bentuk-bentuk linguistik yang tidak dimiliki, berbeda fungsinya dan tidak ada kesamaannya dengan bahasa-bahasa daerah meskipun dalam kelompoknya.

Sungguh sangat disayangkan sebagian ahli Bahasa Madura maupun orang Madura sendiri tidak pernah mempermasalahkannya bahkan menghiraukannya sama sekali. Salah satu keunikan bahasa Madura itu adalah adanya fonem-fonem Madura yang beraspirat (aspirate) atau pengucapan dengan dihembuskan seperti bh, dhḍh, gh, dan jh. Nah dalam hal ini mengapa keunikan bahasa Madura ini justru dihilangkan dalam Ejaan Bahasa Madura Yang Disempumakan? Padahal fonem-fonem ini bisa dijadikan sebagai pembeda makna. 

Sebagai suatu bahasa, bahasa Madura mempunyai ciri-ciri khas baik dalam bidang fonologi, morfologi, maupun sintaksisnya. Beberapa ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut sebagai tambahan belajar mengenai keunikan Bahasa Madura yaitu :

1. Bahasa Madura tidak mengenal kata ganti orang ketiga (3 e persoon).  

Bahasa Madura "asli" yang dipakai oleh orang Madura yang belum terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain tidak pernah mengenal istilah khusus (special term) untuk sebutan kata ganti orang ketiga, seperti "Ia" atau "Dia". Orang Madura kalau akan menyebutkan kata "Ia" atau "Dia" didalam percakapan, maka dipakailah kata-kata pengganti yang sesuai dengan benda dan pelakunya, Contoh : Pak Camat mèghâ' ajâmma (=Pak Camat menangkap ayamnya).

Kata Pak Camat di dalam kalimat ini dapat berperan sebagai pengganti kata "1a" dalam pembicaraan antara orang pertama dengan orang kedua yang sedang membicarakan orang ketiga, yaitu "Ia" yang dalam hal ini adalah Pak Camat. Juga kita jumpai kalimat-kalimat seperti, orèng rowa lakèna (= Ia suaminya) ; bâ'nana rowa tokang cokor = dia itu seorang tukang potong rambut. 

2. Bahasa Madura mempunyai fonem-fonem beraspirat. 

Bahasa madura mempunyai fonem-fonem tanaspirat, yaitu b, d, , g, j dan fonem-fonem beraspirat, yaitu bh, dhḍh, gh, jh. Fonem beraspirat tersebut bersifat fonemik, mengingat kemampuannya sebagai pembeda makna. Contoh : 

Tanaspirat : 

bâbâ (=bawah) 

dumeng (=tolol) 

dalem (=dalam)

gâgâ' (=gagah) 

jânggu' (=jenggot) 

Aspirat : 

bhâbâng (=bawang) 

dhâghing (=daging) 

dhâ'âr (=makan) 

ghâgghâr (=jatuh) 

jhâjhâl (=coba) 

Dalam buku tatabahasa Bahasa Madura, fonem beraspirat tersebut disebut konsonan berrâ' antep, sedangkan untuk fonem yang tanaspirat disebut konsonan berrâ alos atau ambâr gherrungan (Abdul Rasid, dkk., 1984 21). Hanya pada bahasa Madura saja yang mempunyai fonem aspirat, pada bahasa-bahasa Nusantara yang serumpun dengan bahasa Madura kiranya tidak ada yang mempunyai fonem beraspirat yang bersifat fonemik. 

3. Bahasa Madura mempunyai fungsi morfem "Tang"

Bahasa Madura "asli" yang dipakai oleh orang Madura yang belum terpengaruh oleh bahasa lain, dipakai istilah "tang" sebagai penanda milik (possesive pronoun) untuk orang pertama (persona kesatu) dalam tingkat bahasa umum "enjâ'-iyâ". 

Contoh :

tang buku (=buku saya) <--> bukan : bukuna sèngko'

tang roma (=rumah saya) <--> bukan : romana sèngko' 

4. Bahasa Madura mempunyai fungsi morfem (--a) 

Dalam bahasa Madura menggunakan sufiks (--a) untuk menyatakan kata kerja bentuk future "akan". 

Contoh : 

Sèngko' abinèa (=saya akan beristri) 

Burua (=akan lari) 

5. Bahasa Madura mempunyai fungsi prefiks (e--) 

Kalimat pasif bahasa Madura mudah diketahui dengan dipakainya prefiks (e-) pada kata kerjanya, baik pelaku dalam kalimat tersebut orang pertama, orang kedua, ataupun orang ketiga. 

Contoh : 

Arèya sè èkaterrroè bi' sèngko' (=ini yang saya inginkan) 

Apa jhârân rèya sè èbellia bi' bhâ'na? (=apakah kuda ini yang akan kamu beli?) 

Potrana Pa' Matwawi èkabinèa kana' rowa (=putra Pak Matwawi akan diperistri dia (anak itu). 

Sumber:
Kamus Bahasa Madura - Indonesia ; Adrian Pawitra

Mengenal Falsafah Madura Bhuppa' Bhâbbhu' Ghuru Rato

2/20/2021 Add Comment
Umumnya orang madura sudah tau tentang adanya falsafah yang lazim diucapkan dan seringkali dituturkan sebagai nasehat untuk menjaga adab yakni Bhuppa' Bhabbhu' Ghuru Rato namun hanya sedikit saja yang paham akan makna mendalamnya serta bagaimana implementasi dalam kehidupan sehari-hari, nah dibawah ini ada beberapa pengertian, makna dan penjelasan mengenai falsafah tersebut agar bisa dipahami.

Dalam konteks religiusitas, masyarakat Madura dikenal memegang kuat (memedomani) ajaran Islam dalam pola kehidupannya kendati pun menyisakan ‘dilema’, untuk menyebut adanya deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal dan substantif) dan pola perilaku sosiokultural dalam praksis keberagamaan mereka itu. Pengakuan bahwa Islam sebagai ajaran formal yang diyakini dan dipedomani dalam kehidupan individual etnik Madura itu ternyata tidak selalu menampakkan linieritas pada sikap, pendirian, dan pola perilaku mereka. Dilema praksis keberagamaan mereka itu, kiranya menjadi tema kajian menarik terutama untuk mema-hami secara utuh, mendalam, dan komprehensif tentang etnografi Madura di satu sisi, dan keberhasilan penetrasi ajaran Islam pada komunitas etnik Madura yang oleh sebagian besar orang/etnik lain masih dipandang atau di-yakini... ?!? telah mengalami internalisasi sosiokultural, di sisi lain. 


Pemahaman demikian diharapkan dapat memberi kontribusi yang bermakna terutama bagi kejernihan dan kecerahan pola pandang elemen warga-bangsa. 

Bagi entitas etnik Madura, kepatuhan hierarkis tersebut menjadi keniscayaan untuk diaktualisasikan dalam praksis keseharian sebagai "aturan normatif" yang mengikat. Oleh karenanya, pengabaian atau pelanggaran yang dilakukan secara disengaja atas aturan itu menyebabkan pelakunya dikenakan sanksi sosial maupun kultural.

Pemaknaan etnografis demikian berwujud lebih lanjut pada ketiadaan kesempatan dan ruang yang cukup untuk mengenyampingkan aturan normatif itu. Dalam makna yang lebih luas dapat dinyatakan bahwa aktualisasi kepatuhan itu dilakukan sepanjang hidupnya. Tidak ada kosa kata yang tepat untuk menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan kepada keempat figur tersebut. 

Kepatuhan atau ketaatan kepada Ayah dan Ibu (Buppa’ ban Bhâbbu’) 


sebagai orangtua kandung atau nasabiyah sudah jelas, tegas, dan diakui keniscayaannya.

Secara kultural ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua orangtuanya adalah mutlak. Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakanlah ditimpakan kepadanya oleh lingkungan sosiokultural masyarakatnya. Bahkan, dalam konteks budaya mana pun kepatuhan anak kepada kedua orangtuanya menjadi kemestian secara mutlak, tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu gugat. Yang mungkin berbeda, hanyalah cara dan bentuk dalam memanifestasikannya. Kepatuhan mutlak itu tidak terkendala oleh apa pun, sebagai kelaziman yang ditopang oleh faktor genealogis. Konsekuensi lanjutannya relatif dapat dipastikan bahwa jika pada saat ini seseorang (anak) patuh kepada orangtuanya maka pada saatnya nanti dia ketika menjadi orangtua akan ditaati pula oleh anak-anaknya.

Itulah salah satu bentuk pewarisan nilai-nilai kultural yang terdiseminasi. Siklus secara kontinu dan sinambung itu kiranya akan berulang dan berkelanjutan dalam kondisi normal, wajar, dan alamiah, kecuali kalau pewarisan nilai-nilai kepatuhan itu mengalami keterputusan yang disebabkan oleh berbagai kondisi, faktor, atau peristiwa luar biasa. 

Kepatuhan orang-orang Madura kepada figur Ghuru


berposisi pada level-hierarkis selanjutnya.

Penggunaan dan penyebutan istilah Guru menunjuk dan menekankan pada pengertian Kiyai pengasuh pondok pesantren atau sekurang-kurangnya Ustadz pada ‘sekolah-sekolah’ keagamaan. Peran dan fungsi guru lebih ditekankan pada konteks moralitas yang dipertalikan dengan kehidupan eskatologis, terutama dalam aspek ketentraman dan penyelamatan diri dari beban atau derita di alam kehidupan akhirat (morality and sacred world). Oleh karena itu, ketaatan orang-orang Madura kepada figur Guru menjadi penanda khas budaya mereka yang mungkin tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.

Siklus generatif tentang kepatuhan orang Madura sebagai murid kepada figur Guru ternyata tidak dengan sendirinya dapat terwujud sebagaimana ketaatan anak kepada figur I dan II, ayah dan ibunya. Kondisi itu terjadi karena tidak semua orang Madura mempunyai kesempatan untuk menjadi figur Guru. Kendati pun terdapat anggapan prediktif bahwa figur Guru sangat mungkin diraih oleh murid karena aspek genealogis namun dalam realitasnya tidak dapat dipastikan bahwa setiap murid akan menjadi guru, mengikuti jejak orangtuanya.

Oleh karenanya, makna kultural yang dapat ditangkap adalah bahwa bagi orang Madura belum cukup tersedia ruang dan kesempatan yang leluasa untuk mengubah statusnya menjadi orang yang senantiasa harus berperilaku patuh, tunduk, dan pasrah.

Kepatuhan orang Madura kepada figur Rato


Pemimpin pemerintahan dari yang tingkat paling bawah yang berjenjang seperti RT/RW Kepala Desa Camat dan Bupati serta keatasnya menempati posisi hierarkis keempat. Figur Rato dicapai oleh seseorang dari mana pun etnik asalnya bukan karena faktor genealogis melainkan karena keberhasilan prestasi dalam meraih status.

Dalam realitasnya, tidak semua orang Madura diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk mencapai posisi sebagai Rato, kecuali 3 atau 4 orang sebagai Bupati di Madura dalam 5 hingga 10 tahun sekali. Itu pun baru terlaksana ketika diterbitkan kebijakan nasional berupa Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, tahun 1999 yang baru lalu. 

Oleh karena itu, kesempatan untuk menempati figur Rato pun dalam realitas praksisnya merupakan kondisi langka yang relatif sulit diraih oleh orang Madura. Dalam konteks itulah dapat dinyatakan bahwa sepanjang hidup orang-orang Madura masih tetap dalam posisi yang senantiasa harus patuh.

Begitulah posisi subordinatif-hegemonik yang menimpa para individu dalam entitas etnik Madura.

Oleh:
Hidrochin Sabarudin dan diolah dari berbagai sumber.

Belajar Tentang Tingkat Bahasa Madura (Speech Levels)

2/18/2021 Add Comment
Sebagaimana halnya bahasa Jawa, Sunda dan Bali, maka Bahasa Madura pun mempunyai beberapa tingkat bahasa. Sesungguhnya ada lima tingkat bahasa (speech levels) dalam Bahasa Madura, namun pembagian tingkat bahasa tersebut bisa disederhanakan menjadi tiga tingkat saja, yaitu; tingkat bahasa kasar (iyâ-enjâ'), tingkat bahasa tengah (engghi-enten), dan tingkat bahasa halus (èngghi-bhunten) (Bloomfield 1965:294-302). Memang pada dasarnya tingkatan Bahasa Madura itu lazimnya dibagi menjadi tiga tingkat bahasa, yaitu :



1. Tingkat Bahasa Umum (Iyâ- enjâ') = Lomra {L}

Tingkat bahasa ini merupakan tingkat bahasa yang secara struktural adalah yang paling lengkap dibandingkan dengan tingkat bahasa yang lain dalam Bahasa Madura. Tingkat bahasa ini oleh kebanyakan penulis seperti : H.N. Kiliaan, P. Penninga dan H. Hendriks, Murdiman Haksa Pratista dkk dan juga Alan M. Steven diistilahkan tingkat bahasa “kasar” dengan singkatan K. 
 
Orang Madura pada umumnya tidak menyetujui istilah ini dengan alasan bahwa “kasar” mengandung konotasi jelek atan negatif, padahal bahasa itu indah dan tidak jelek!. Sebagai ganti "kasar” kami menggantinya dengan istilah “lomra” {L} dan untuk selanjutnya dalam buku kamus ini kami memakai istilah tersebut. Lomra berarti lumrah, lazim atau umum dan kepada penulis-penulis Belanda dan Amerika tersebut bisa menggantinya dengan istilah “algemeen” (=umum) bukan grof. onbeschaafd (=kasar/tidak beradab), dalam bahasa Inggris bisa diganti dengan “common” (=umum, biasa) bukan dengan rough =kasar, orang kasar). 
 
 
Di Madura bahasa tingkat iyâ-enjậ' {L} ini dipakai oleh anak-anak dengan anak-anak sebaya sebagai bahasa keakraban, orang dewasa dengan orang dewasa yang dikenal sejak kecil atau sudah akrab, orang tua kepada anakanaknya sendiri, keponakannya dan kepada orang yang akrab dengannya, juga dipakai oleh sebagian golongan masyarakat priyayi kepada orang kebanyakan (rakyat). Contoh : 
  1. Apa bâ’na ella tao? (= apakah kamu sudah tahu?) 
  2. Sapa nyamana bâ’na, lè”? (=siapa nama kamu, dik?) 
  3. Entara dâ' kamma? (=hendak pergi kemana?)

2. Tingkat Bahasa Menengah (Engghi-enten) = Tengaan {T}

Tingkat bahasa menengah ini di Bangkalan terdengar Engghi-enten (=é seperti e Jawa pada kata bapakne), merupakan tingkat bahasa tengahan {T} yang dipakai oleh anak-anak dipedesaan kepada orang tuanya, paman bibinya dan kepada orang yang lebih tua darinya. Di perkotaan dipakai oleh seorang mertua kepada menantunya, namun sekarang kebanyakan para mertua sudah memakai tingkat bahasa halus. 
 
 
Juga dipakai oleh para induk semang kepada pembantu rumah tangga yang berasal dari desa pada jaman dahulu ketika masalah perjodohan ditentukan oleh kedua belah pihak orang tua dipakai oleh para suami kepada istrinya, di pedesaan juga dipakai oleh para isu kepada suaminya. Namun sekarang tingkat bahasa tengahan ini sudah jarang terdengar, sudah tidak dimengerti lagi olen generasi muda sekarang, Contoh :
  1. Napè dhika pon tao? (=apakah kamu sudah tahu?)
  2. Séra nyamana dhika, lè'? (=siapa nama kamu, dik?)
  3. Entara dâ’ ko'amma dhika? (=hendak pergi kemana?)

3. Tingkat Bahasa Tinggi/Halus (Èngghi-bhunten) = Alos {A}

Merupakan bahasa halus (=alos) yang dipakai sebagai kata pengantar dalam pertemuan-pertemuan, rapat-rapat musyawarah tanpa pengecualian yang hadir juga ada orang muda dan anak-anak, dipakai oleh orang dewasa dengan orang yang baru dikenal baik kepada yang lebih tua maupun terhadap yang lebih muda sebagai bahasa pergaulan yang sopan, dipakai oleh anak-anak kepada orang tuanya sendiri maupun kepada orang dewasa lainnya, dipakai murid kepada gurunya. Contoh :
  1. Ponapa panjhennengngan ampon mèyarsa? (=apakah kamu sudah tahu?)
  2. Paséra asmana panjhennengan, lè'? (=siapa nama kamu, dik?)
  3. Bhâdhi mèyossa dâ’ka’ờimma? (=hendak pergi kemana?)
Di luar ketentuan pembagian tingkatan Bahasa Madura di atas masih ada tingkat bahasa yang dipakai sebagian kecil golongan masyarakat priyayi atau kraton kepada sesama priyayinya dan juga dipakai untuk berdoa kepada Allah SWT. Tingkat bahasa ini diistilahkan tingkat bahasa halus/tinggi = Alos-tèngghi {AT}. Contoh :
 
{L} : sèngko' (=saya) <--> {L} : bâ’na (=kamu) 
{T} : bulâ (=saya)  <--> {T} : dhika (=kamu) 
{A} : kaula (=saya) <--> {A} : sampeyan (=kamu) 
{AT} : bhadhân kaulâ, abdhina (=saya) <--> {AT} : panjhennengan,padhâna,  padhâ panjhennengan, ajunan dhâlem (=kamu)

Orang yang dalam berbicara memakai kata-kata {L} = (umum) dalam berkomunikasi dengan orang lain, di Madura disebut “ta' abhâsa”, tetapi sebaliknya yang memakai kata-kata {T}, {A}, atau {AT} disebut "abhâsa”. Namun demikian tidak semua kata-kata dalam kalimat itu harus memakai {T}, {A}, atau {AT), karena tidak semua kata dalam bahasa Madura punya {T}, {A}, atau {AT).

Sumber:
Kamus Bahasa Madura - Indonesia (Adrian Pawitra)

Mengenal Lebih Dekat Tentang Sejarah Bahasa Madura

2/14/2021 Add Comment
Bahasa Madura adalah bahasa daerah (vernacular language) yang dipakai oleh orang Madura sebagai alat untuk berkomunikasi, untuk menunjukkan identitas dan eksistensi sebagai salah satu suku yang ada di nusantara yaitu suku Madura. Para ahli bahasa dan para peneliti bahasa Madura yang telah lama menekuni mengambil suatu kesimpulan yang berbeda-beda, antara lain ; bahasa Madura termasuk bahasa-bahasa Melayu-Polynesia yang dipakai kurang lebih 15 juta (angka perkiraan) penduduk yang mendiami pulau Madura dan pulau pulau sekitarnya yang berada di ujung timur pulau Madura serta daerah pesisir utara pulau Jawa yang disebut daerah tapal kuda serta oleh komunitas-komunitas orang Madura yang tersebar di seluruh nusantara. 
 

Penutur bahasa Madura merupakan yang terbanyak keempat dari 726 bahasa daerah di Indonesia setelah bahasa Indonesia, Jawa dan Sunda, terbanyak ketiga setelah bahasa daerah Jawa dan Sunda. Menurut Wurm dan Shiro Hattori (1981), mengurutkan pemeringkatan bahasa daerah di Indonesia berdasarkan jumlah penuturnya, yang menempati 1-20 itu berturut-turut adalah bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Bugis, Batak, Banjar, Bali, Aceh, Sasak, Lampung, Makassar, Rejang, Komering, Sa'dan, Manggarai, Minahasa, Dayak Ngaju, Gorontalo dan Bima. 
 
Bahasa Madura yang termasuk bahasa Melayu-Polynesia itu berada dalam kelompok yang lebih kecil lagi bergabung dengan bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Bali dan Melayu, tetapi menurut Salzner dalam bukunya yang berjudul Aprachenatlas des Indopazifischen Raumes (Wiesbaden, 1960), mengatakan bahwa bahasa Madura itu sangat erat kaitannya dengan bahasa Jawa. Juga ada yang mengatakan bahwa bahasa Madura itu berstruktur imbuhan yang serumpun dengan bahasa-bahasa kelompok Austronesia, bahasa itu mirip dengan bahasa Jawa, Sunda dan Bali (Steven, 1968 : 1-2). 
 
Para ahli dari Barat seperti Peter W. Smidt dan J.L.A. Brandes mengadakan pembagian bahasa yang ada di Asia dan di Indonesia yaitu bahasa Austrisch terbagi menjadi ; bahasa Austro-Asia, bahasa Tibeto dan bahasa Austronesia, yang mana dalam bahasa Austronesia ini bahasa Madura termasuk di dalamnya bergabung dengan bahasa Madagaskar, Formosa, Philipina, Jawa, Nusa Tenggara, maluku, Kalimantan, Sulawesi, Sunda dan bahasa Melayu di Malaka. 
 
 
Bahasa Madura standar yang dipakai atau dianggap yang terbaik adalah dialek Madura bagian timur yaitu Sumenep dan diajarkan disekolah tingkat SD dan SLTP diseluruh Madura. Bahasa Madura seperti bahasa-bahasa daerah lain juga tidak luput dari pengaruh bahasa asing hal ini disebabkan karena bahasa sebagai alat komunikasi, alat untuk berpikir, alat untuk mewujudkan hasil karya dan alat untuk menunjukkan identitas, maka bahasa beserta unsur unsurnya dapat dievaluasi, diubah, diperbaiki, diganti dan disesuaikan dengan perkembangan jaman, dan untuk keperluan pemakainya, maka sah saja untuk memasukkan unsur-unsur bahasa asing, dalam hal ini bahasa Madura karena erat hubungannya dengan bahasa Jawa.
 
banyak kita jumpai persamaan-persamaannya (dalam tingkat bahasa èngghi-bhunten) meskipun beda dalam pengucapannya, setelah penulis meneliti, bahasa Madura tidak luput dari pengaruh bahasa-bahasa asing antara lain ; bahasa Arab dimana mayoritas orang Madura adalah muslim, bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Sansekerta, bahasa Portugis, bahasa Persia, bahasa Tamil dan lain-lain. 

SEJARAH AKSARA BAHASA MADURA

Dijaman pra-Islam orang Madura menulis bahasa Madura untuk pertamakalinya dengan mengadopsi huruf jawa kuno yaitu (a, na, ca, ra, ka) yang kemudian disebut “Carakan Madhurâ”, dengan ditemukannya bukti-bukti nyata bacaan-bacaan Madura kuno semuanya bertuliskan carakan Madura, walaupun huruf-huruf ini belum bisa mewakili semua konsonan Madura. Menurut Pigeaud (1967, 1: 134-135) tidak ada teks berbahasa Madura pra-Islam, dan kesusasteraan tertulis Madura baru muncul pada abad ke-19. Sebelumnya, orang menulis didalam huruf jawa, bahasa kawi miring (sejenis jawa kuno), atau didalam dialek campuran Jawa-Madura - aneka ceritera Madura dan Jawa. 
 
Dalam pada itu kesusasteraan Islam Jawa berkembang juga di kraton-kraton. Dikatakan mengadopsi huruf jawa kuna dikarenakan, carakan Madhura memang bukan aksara bahasa Madura, melainkan bahasa jawa yang terkenal dengan sebutan "Carakan Jhâbân". Konon menurut legenda bentuk tulisan carakan ini bukan asli dari Jawa maupun Madura karena yang membawa model tulisan ini adalah seseorang yang bernama Ajisaka yang merupakan seorang ahli purbakala yang berasal India.

Di jaman berkembang dan tersebarnya Islam setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, orang Madura sempat menuliskannya dengan huruf “Peghu atau Pèghun” (pigon) yaitu, huruf-huruf Arab yang disesuaikan dengan bahasa atau konsonan Madura yang tidak terdapat dalam abjad Arab, karena abjad Arab belum bisa mewakili konsonan Madura. 
 
Baru setelah berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda, bahasa Madura ditulis dalam huruf latin seperti halnya sekarang, namun dalam perkembangannya penulisan bahasa Madura mengalami beberapa perubahan sesuai dengan ejaan yang dipakai dieranya masing-masing. Menurut Uhlenbeck (1964: 174, 176-177), pemilihan dialek Sumenep sebagai bahasa standar serta peralihan ke huruf latin pada awal abad ke 20 agaknya telah menyusul penelitian Kiliaan tentang bahasa Madura, 
 
Berdasarkan penelitian itu Kiliaan terutama menerbitkan kitab tata bahasa Madura dalam dua jilid (1897) serta sebuah kamus yang disusun berdasarkan transkripsi huruf jawa, disusul transkripsi bahasa Madura ke huruf latin dan penerjemahan dalam bahasa Belanda (1904-1905). Kamus Madura-Belanda yang diterbitkan pada tahun 1913 oleh Penninga dan Hendriks tak lebih dari pada versi yang disederhanakan dari kamus tersebut di atas. Perlu dicatat juga kamus Madura-Indonesia yang disusun oleh Asis Safioedin, SH (1976), kamus Madura - Madura Indonesia oleh Tim pakem Maddhu Pamekasan (2007), juga kamus Dwibahasa Indonesia-Madura oleh Balai Bahasa Surabaya (2008).

SEJARAH KAMUS BAHASA MADURA

Dalam sejarahnya, kamus bahasa Madura yang pernah ada adalah :

1. Kiliaan. H.N., Madoereesch - Nederlandsch - Woordenboek;
Jilid I (th 1904) dan jilid II (th 1905); Boekhandel en Drukkerij
Voorheen E.J. Brill. Leiden. 

2. Penninga.P.dan Hendriks. H, Practisch Madurees-Nederlands WOORDENBOEK
(met een aanhangsel bevattende een kleine handleiding voor 't aanleren der Madoeresch taal met aanwijzig voor de uitspraak en woordleer. Benevens leesstukjes om de taal eenigzins in haar constructie te leren kennen) ; G.C.T van Dorp & Co.N.V ; Semarang — Surabaya — Den Haag (1913). 

3. Penninga. P. dan Hendriks. H, Practisch Nederlands-Madurees WOORDENBOEK (met een aanhangsel bevattende een kleine handleiding voor 't aanleren der Madoeresch taal met aanwijzig voor de uitspraak en woordleer. Benevens leesstukjes om de taal eenigzins in haar constructie te leren kennen) ; G.C.T van Dorp & Co.N.V ; Semarang — Surabaya — Den Haag (1913). 

4. Safioedin, Asis, SH, Kamus Bahasa Madura-Indonesia ; Penerbit : CV. Kanendra Suminar, Surabaya (1976). 

5. Sasaki,K.,KamusPercakapanDasarBesaMadure-Indonesia-Jepang, Tokyo (1993). 

6. Sugiarto dkk, Kamus Indonesia-Daerah (Jawa, Bali, Sunda, Madura), Jakarta, Gramedia Pustaka Utama (1993). 

7. Tim Pakem Maddhu Pamekasan , Kamus bahasa Madura-Madura-Indonesia, Dinas pendidikan dan Kebudayaan, Pamekasan (2007). 

8. Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa, Balai Bahasa Surabaya ; Kamus Dwibahasa Indonesia-Madura, Surabaya (2008). 
 
Sumber:
Kamus Lengkap Bahasa Madura - Indonesia (Adrian Pawitra)