Wisata Religi - Perahu Sarimuna Peninggalan Syaichona Moh Cholil

4/30/2015 Add Comment
Setelah sebelumnya mengunjungi Pasarean Makam Zimat - Sayyid Husein Assegaf di Desa Banyusangka, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan. Perjalanan Tim Labang Bhuta bersama beberapa perangkat desa setempat melanjutkan perjalanan menuju Perahu Sarimuna peninggalan Syaichona Moh Cholil yang berada di Desa Telaga Biru, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan.

Jarak antara Makam Sayyid Husein Assegaf dengan Perahu Sarimuna sekitar 5 Kilometer yang bisa dilalui oleh motor maupun mobil. Ketika sampai dilokasi, keberadaan Perahu Sarimuna cukup terawat dengan beberapa lapisan cat yang masih terbilang baru serta dibuatkan semacam rumah untuk melindungi Perahu Sarimuna tersebut.

Didalam Perahu terdapat ruangan untuk berlindung bagi para penumpangnya dan sekarang ruangan tersebut digunakan sebagai musholla kecil untuk Sholat maupun Mengaji bagi masyarakat sekitar maupun para wisatawan yang ingin merasakan sensasi beribadah didalam Perahu Sarimuna peninggalan Guru Besar Syaichona Moh Cholil dari Bangkalan ini.

Perahu Sarimuna Syaichona Moh Cholil

Sejarah Perahu Sarimuna Peninggalan Syaichona Moh Cholil bin Abdul Latief


Perahu Sarimuna peninggalan Syaichona Moh Cholil ini dibuat sekitar abad ke-18 dan hingga sekarang perahu tersebut diperkirakan telah mencapai usia 125 tahun. Sebelum seperti sekarang, perahu ini dulunya lebih kecil kemudian dilakukan renovasi pada tahun 1951 dan pada tahun tersebut perahu masih digunakan oleh masyarakat sekitar. Dan pada Tahun 1982 Perahu Sarimuna tidak lagi digunakan untuk berlayar dilaut dan warga-pun berinisiatif untuk menaikkannya ke daratan.

Pada tulisan kertas yang berjudul "Golekan Sarimuna Perahu Tradisional Tanjung Bumi Peninggalan Syaichona Kholil" dijelaskan bahwa pembuat perahu tersebut adalah Molin yang merupakan warga Desa Telaga Biru kemudian dia diminta Syaichona Moh Cholil untuk membuat perahu tersebut.

Baca juga: Kisah Kyai Kholil, Bangkalan: Santrinya Jadi Tokoh Penting

Foto Perahu Sarimuna peninggalan Syaichona Moh Kholil

Namun pada saat itu, Molin tidak langsung menyanggupi permintaan Syaichona Moh Cholil karna beliau menderita penyakit kulit serta gatal-gatal diseluruh tubuhnya. Kemudian Ulama Besar Madura tersebut menawarkan diri untuk mengobati penyakit yang menimpa Molin dan Molin sanggup untuk membuatkan perahu dengan syarat dirinya sembuh dari penyakit yang menimpanya.

Pembuatan perahu ini berbeda dari biasanya, Menurut Mohammad Juhri, penulis rangkuman cerita rakyat Perahu Sarimuna, yang biasanya proses pembuatan perahu bisa selesai 5 hingga 7 bulan berbeda dengan Perahu Sarimuna buatan Molin, Dia hanya membutuhkan waktu 40 hari untuk menyelesaikan pembuatan perahu tersebut.

Bagian Dalam Perahu Sarimuna Syechona Moh Kholil Bangkalan

Dan Perahu itu digunakan oleh Syaichona Moh Cholil untuk menyebarkan agama ke sejumlah daerah di nusantara. Untuk mengabadikan Perahu tersebut, Nama "Sarimuna" juga dipakai sebagai nama Pelabuhan di desa setempat. (Sumber: Radar Madura)


VIDEO YOUTUBE WISATA RELIGI MADURA - PERAHU SARIMUNA SYAICHONA CHOLIL



Pasarean Makam Zimat Sayyid Husein Assegaf di Kec. Tanjung Bumi

4/22/2015 Add Comment

Menyusuri Makam Sayyid Hosen Assegaf


Tepat tanggal 29 Maret 2015 kami dari Tim Labang Bhuta sekitar jam 11 pagi berangkat menuju Kecamatan Tanjung Bumi untuk datang dan meneliti Batu Nisan yang berada di Pasarean Sayyid Hosen Assegaf. Sebelumnya kami berkunjung ke Kepala UPT Tanjung Bumi yakni Bapak Suharsana dan kemudian beliau mendampingi Tim Labang Bhuta menuju Pasarean Makam Zimat di Desa Banyusangka, Kec. Tanjung Bumi.

Sampai disana, penelitian dilakukan dengan membaca salah satu batu nisan di luar komplek makam Sayyid Husein Assegaf dengan membersihkan batu nisan yang sudah tampak kusam dimakan zaman. disitulah Pak Hidrochin Sabaruddin, Ahli Sejarah bercerita mengenai arti dari batu nisan tersebut.

Kemudian penelitian dilanjutkan menuju Makam Sayyid Husein Assegaf, disitu terlihat beberapa pengunjung sedang mengaji membaca Ayat Suci Al-Quran. Makam Sayyid Husein ini ditutup oleh kelambu dan batu nisan ditutupi oleh beberapa helai kain putih sebagai pertanda bahwa beliau merupakan tokoh agama yang disegani.

Satu-persatu helai kain dibuka dengan hati-hati hingga kain terakhir dan terlihatlah batu nisan yang selama ini menjadi patok makam Sayyid Hosen, di batu nisan tersebut terdapat relief seakan-akan ada cerita dan makna dibalik ukiran itu.


Sejarah mengenai Sayyid Husein Assegaf

Di suatu desa di wilayah Bangkalan, tersebutlah seorang ulama bernama Sayyid Husein. Beliau mempunyai banyak pengikut karena ketinggian ilmunya. Selain akhlaknya yang berbudi luhur, beliau juga memiliki banyak karomah, karena kedekatannya dengan Sang Khaliq.

Beliau sangat dihormati pengikutnya, dan bahkan penduduk di sekitar Bangkalan. Namun bukan berarti beliau terlepas dari orang yang membencinya, lantaran iri hati akan kedudukan beliau di mata masyarakat saat itu. Hingga suatu hari salah seseorang dari mereka yang iri itu berniat mencelakai dan menghancurkan kedudukan Sayyid Husein. Orang tersebut merekayasa berita, bahwa Sayyid Husein bersama pengikutnya telah merencanakan pemberontakan dan ingin menggulingkan kekuasaan Raja Bangkalan.

Meneliti Batu Nisan Makam Sayyid Hosen Assegaf
Tentu, berita palsu ini akhirnya sampai ketelinga sang Raja. Mendengar berita itu Raja gelisah dan khawatir, dan tanpa pikir panjang lagi Raja mengutus panglima perang bersama sejumlah pasukannya menuju kediaman Sayyid Husein. Sayyid Husein yang saat itu sedang beristirahat langsung dikepung dan dibunuh secara kejam oleh tentara kerajaan, tanpa pikir panjang dan tanpa disertai bukti yang kuat. Sayyid yang tidak bersalah itupun wafat seketika, dan konon jenazahnya dimakamkan di perkampungan tersebut.

Selang beberapa hari dari wafatnya Sayyid Husein, Raja mendapat informasi yang sebenarnya, bahwa Sayyid Husein tidak melakukan sebagai berita yang tersebar di kerajaan. Ia menyesali keputusannya yang sama sekali tidak berdasar pada bukti-bukti kuat. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk menebus kesalahan tersebut, hingga Raja berinisiatif memberi gelar kepada Sayyid Husein dengan sebutan Bujuk Banyu Sangkah (Buyut Banyu Sangkah).

Sayyid Husein wafat dengan meninggalkan dua orang putra. Yang pertama bernama Abdul Manan dan yang kedua bernama Abdul Rohim. Sejak kejadian yang menimpa Sayyid Husein, Abdul Rohim lari ke Desa Bire (masih dalam kawasan Kabupaten Bangkalan), dan menetap disana sampai akhir hayat beliau. Dan akhirnya beliau terkenal sebagai Bujuk Bire (Buyut Bire).

Sementara Abdul Manan, pergi mengasingkan diri, menjauh dari kekuasaan Raja Bangkalan. Hari demi hari dilaluinya dengan sengsara dan penuh penderitaan, hingga akhirnya sampai di sebuah hutan lebat di tengah perbukitan wilayah Batu Ampar (Kabupaten Pamekasan). Di hutan inilah beliau bertapa mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Pertapaan ini beliau lakukan di bawah pohon kosambih (kesambi) selama 41 tahun, sebelum akhirnya ditemukan seorang anak seorang perempuan yang sedang mencari kayu dihutan. Karena itulah beliau dijuluki Bujuk Kosambih. Singkat cerita Abdul Manan dibawa ke rumahnya, dan menikah dengan putri sulung yang menderita penyakit kulit. Aneh, pada hari ke-41 pernikahan mereka, si sulung sembuh dari penyakitnya. Bahkan kulitnya bertambah putih bersih dan cantik jelita, hingga kecantikannya tersiar kemana-mana.

Dari pernikahan ini, beliau dikarunia dua orang putra; pertama bernama Taqihul Muqadam, dan yang kedua adalah Basyaniah. Setelah bertahun-tahun berdakwah, beliau wafat dan dimakamkan di Batu Ampar dan terkenal dengan julukan Bujuk Kosambi. (diambil sebagian dari cerita Sejarah Buju' Batu Ampar diambil dari LontarMadura.com, postingan asli oleh TreTans.com yang berubah menjadi PulauMadura.com)

VIDEO EKSPEDISI TIM LABANG BHUTA MENELITI

MAKAM SAYYID HUSEIN ASSEGAF - DS. BANYUSANGKA




Sekilas Mengenai Sejarah Berdirinya Masjid Agung Bangkalan

4/07/2015 Add Comment

Pendiri Masjid Agung Bangkalan


Di sepanjang alur pemerintahannya, Raden Maulana Abdul Kadir sebagai penguasa Kerajaan Bangkalan, memang lebih disibukkan dengan agenda perang. Meski begitu, bukan berarti beliau melupakan peran dan tugas lainnya, terutama yang berkait erat dengan kesejahteraan rakyat, serta upaya penyebaran Agama Islam di kawasan Madura Barat.

Salah satu jasa beliau dibidang keagamaan, adalah menggagas pembangunan dan berdirinya Masjid Agung Bangkalan, yang hingga saat ini peran dan fungsinya tetap lestari di kalangan Umat Islam Kabupaten Bangkalan. Berkat jasa besarnya itulah, Raden Maulana Abdul Kadir juga dikenal sebagai sosok pimpinan negara yang berhak menyandang predikat Satrio Panandito (pemimpin berwawasan Ulama dan Umaroh) serta Sayyidin Panotogomo (pemuka dan penyebar agama) yang adiluhung.

Masjid Agung Bangkalan

Dari sudut pandang tatanan budaya Jawa, karakter dan pola kepemimpinan yang dikembangkan Raden Maulana Abdul Kadir selama bertahta di Kerajaan Bangkalan, sebagaimana dikutip dari buku karangan Sumarsaid Murtono, juga selalu berpijak pada filosofi budaya Jawa yang berbunyi,” Indra Yama Surya Candra Bayu Kuwera Baruna Brahma “. Artinya, disepanjang pemerintahannya, sosok Raden Maulana Abdul Kadir alias Pangeran Adipati Cakra Adiningrat II, dikenal sebagai seorang Raja yang dermawan, tegas, ramah tamah, penuh kasih-sayang, cermat, pemberi kegembiraan, cerdas, serta memiliki keberanian layaknya seorang ksatria sejati. Simpulnya, beliau adalah soso Raja yang arief dan bijaksana.

Pada akhirnya, Raden Maulana Abdul Kadir, salah seorang Raja Kerajaan Bangkalan yang dikenal trengginas di medan tempur itu wafat pada hari Kamis Legi 11 Safar 1775 Rahun Jawa, atau identik dengan tanggal 28 Januari 1847 Masehi. Jasad beliau disemayamkan di sebuah cungkup ukuran besar dengan konstruksi dan seni arsitektur bangunan bernuansa perpaduan Eropa (Belanda) dan Islam.

Di dalam Cungkup Paseran Raden Maulana Abdul Kadir yang tepat berada di belakang Masjid Agung itu, juga bersemayam belasan makam sanak keluarga dan kerabat dekat beliau. Diantaranya adalah makam Pangeran Muhammad Jusuf alias Panembahan Cakra Adiningrat VII (1847-1862), makam Raden Abdul Jumali alias Pangeran Pakuningrat (1862-1879), makam Raden Mohammad Ismail alias Panembahan Cakra Adiningrat V (1862-1882), dan masih lagi sanak keluarga dan kerabat lainnya.

Atas prakarsa seorang pengusaha besar asal Kabupaten Bangkalan, Drs H Hoesein Soeropranoto, yang kemudian bekerja sama dengan Yayasan Ta’mirul Masjid Agung setempat, Masjid Agung Bangkalan peninggalan Raden Maulana Abdul Kadir atau Sultan Abdul Kadirun menjalani rehabilitasi dan perluasan. Berbekal plavon dana sebesar Rp 545,5 juta lebih, proses rehabilitasi dan perluasan Masjid Agung Bangkalan itu akhirnya bergulir mulai tanggal 28 Oktober 1990 s/d tanggal 16 April 1991.

Sekarang, suasana dan kondisi bangunan Masjid Agung yang bersebarangan dengan dua komplek alun-alun Kota Bangkalan itu jadi semakin luas, artistik dan elegant setelah menjalani renovasi untuk kali kedua ketika era pemerintahan Bupati Bangkalan, RKH Fuad Amin,Spd.

Demikian sajian singkat seputar Masjid Agung Bangkalan, salah satu Obyek Wisata Religi kebanggaan Kabupaten Bangkalan. Semoga tulisan yang juga disisipi oleh latar belakang historis kehidupan Raden Maulana Abdul Kadir alias Pangeran Adipati Cakra Adiningrat II ini bermanfaat bagi para pembaca buku ini. (Disbudpar Bangkalan)