Mengenal Falsafah Madura Bhuppa' Bhâbbhu' Ghuru Rato

2/20/2021
Umumnya orang madura sudah tau tentang adanya falsafah yang lazim diucapkan dan seringkali dituturkan sebagai nasehat untuk menjaga adab yakni Bhuppa' Bhabbhu' Ghuru Rato namun hanya sedikit saja yang paham akan makna mendalamnya serta bagaimana implementasi dalam kehidupan sehari-hari, nah dibawah ini ada beberapa pengertian, makna dan penjelasan mengenai falsafah tersebut agar bisa dipahami.

Dalam konteks religiusitas, masyarakat Madura dikenal memegang kuat (memedomani) ajaran Islam dalam pola kehidupannya kendati pun menyisakan ‘dilema’, untuk menyebut adanya deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal dan substantif) dan pola perilaku sosiokultural dalam praksis keberagamaan mereka itu. Pengakuan bahwa Islam sebagai ajaran formal yang diyakini dan dipedomani dalam kehidupan individual etnik Madura itu ternyata tidak selalu menampakkan linieritas pada sikap, pendirian, dan pola perilaku mereka. Dilema praksis keberagamaan mereka itu, kiranya menjadi tema kajian menarik terutama untuk mema-hami secara utuh, mendalam, dan komprehensif tentang etnografi Madura di satu sisi, dan keberhasilan penetrasi ajaran Islam pada komunitas etnik Madura yang oleh sebagian besar orang/etnik lain masih dipandang atau di-yakini... ?!? telah mengalami internalisasi sosiokultural, di sisi lain. 


Pemahaman demikian diharapkan dapat memberi kontribusi yang bermakna terutama bagi kejernihan dan kecerahan pola pandang elemen warga-bangsa. 

Bagi entitas etnik Madura, kepatuhan hierarkis tersebut menjadi keniscayaan untuk diaktualisasikan dalam praksis keseharian sebagai "aturan normatif" yang mengikat. Oleh karenanya, pengabaian atau pelanggaran yang dilakukan secara disengaja atas aturan itu menyebabkan pelakunya dikenakan sanksi sosial maupun kultural.

Pemaknaan etnografis demikian berwujud lebih lanjut pada ketiadaan kesempatan dan ruang yang cukup untuk mengenyampingkan aturan normatif itu. Dalam makna yang lebih luas dapat dinyatakan bahwa aktualisasi kepatuhan itu dilakukan sepanjang hidupnya. Tidak ada kosa kata yang tepat untuk menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan kepada keempat figur tersebut. 

Kepatuhan atau ketaatan kepada Ayah dan Ibu (Buppa’ ban Bhâbbu’) 


sebagai orangtua kandung atau nasabiyah sudah jelas, tegas, dan diakui keniscayaannya.

Secara kultural ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua orangtuanya adalah mutlak. Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakanlah ditimpakan kepadanya oleh lingkungan sosiokultural masyarakatnya. Bahkan, dalam konteks budaya mana pun kepatuhan anak kepada kedua orangtuanya menjadi kemestian secara mutlak, tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu gugat. Yang mungkin berbeda, hanyalah cara dan bentuk dalam memanifestasikannya. Kepatuhan mutlak itu tidak terkendala oleh apa pun, sebagai kelaziman yang ditopang oleh faktor genealogis. Konsekuensi lanjutannya relatif dapat dipastikan bahwa jika pada saat ini seseorang (anak) patuh kepada orangtuanya maka pada saatnya nanti dia ketika menjadi orangtua akan ditaati pula oleh anak-anaknya.

Itulah salah satu bentuk pewarisan nilai-nilai kultural yang terdiseminasi. Siklus secara kontinu dan sinambung itu kiranya akan berulang dan berkelanjutan dalam kondisi normal, wajar, dan alamiah, kecuali kalau pewarisan nilai-nilai kepatuhan itu mengalami keterputusan yang disebabkan oleh berbagai kondisi, faktor, atau peristiwa luar biasa. 

Kepatuhan orang-orang Madura kepada figur Ghuru


berposisi pada level-hierarkis selanjutnya.

Penggunaan dan penyebutan istilah Guru menunjuk dan menekankan pada pengertian Kiyai pengasuh pondok pesantren atau sekurang-kurangnya Ustadz pada ‘sekolah-sekolah’ keagamaan. Peran dan fungsi guru lebih ditekankan pada konteks moralitas yang dipertalikan dengan kehidupan eskatologis, terutama dalam aspek ketentraman dan penyelamatan diri dari beban atau derita di alam kehidupan akhirat (morality and sacred world). Oleh karena itu, ketaatan orang-orang Madura kepada figur Guru menjadi penanda khas budaya mereka yang mungkin tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.

Siklus generatif tentang kepatuhan orang Madura sebagai murid kepada figur Guru ternyata tidak dengan sendirinya dapat terwujud sebagaimana ketaatan anak kepada figur I dan II, ayah dan ibunya. Kondisi itu terjadi karena tidak semua orang Madura mempunyai kesempatan untuk menjadi figur Guru. Kendati pun terdapat anggapan prediktif bahwa figur Guru sangat mungkin diraih oleh murid karena aspek genealogis namun dalam realitasnya tidak dapat dipastikan bahwa setiap murid akan menjadi guru, mengikuti jejak orangtuanya.

Oleh karenanya, makna kultural yang dapat ditangkap adalah bahwa bagi orang Madura belum cukup tersedia ruang dan kesempatan yang leluasa untuk mengubah statusnya menjadi orang yang senantiasa harus berperilaku patuh, tunduk, dan pasrah.

Kepatuhan orang Madura kepada figur Rato


Pemimpin pemerintahan dari yang tingkat paling bawah yang berjenjang seperti RT/RW Kepala Desa Camat dan Bupati serta keatasnya menempati posisi hierarkis keempat. Figur Rato dicapai oleh seseorang dari mana pun etnik asalnya bukan karena faktor genealogis melainkan karena keberhasilan prestasi dalam meraih status.

Dalam realitasnya, tidak semua orang Madura diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk mencapai posisi sebagai Rato, kecuali 3 atau 4 orang sebagai Bupati di Madura dalam 5 hingga 10 tahun sekali. Itu pun baru terlaksana ketika diterbitkan kebijakan nasional berupa Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, tahun 1999 yang baru lalu. 

Oleh karena itu, kesempatan untuk menempati figur Rato pun dalam realitas praksisnya merupakan kondisi langka yang relatif sulit diraih oleh orang Madura. Dalam konteks itulah dapat dinyatakan bahwa sepanjang hidup orang-orang Madura masih tetap dalam posisi yang senantiasa harus patuh.

Begitulah posisi subordinatif-hegemonik yang menimpa para individu dalam entitas etnik Madura.

Oleh:
Hidrochin Sabarudin dan diolah dari berbagai sumber.


Tour Travel Pulau Madura

Sebarkan

Komentar Facebook

Artikel Terkait

Previous
Next Post »